Perubahan iklim (climate change) menjadi salah satu isu global yang dibahas dalam KTT G20 di Bali November 2022. Isu perubahan iklim (climate change) yang mengemuka adalah meningkatnya suhu bumi sebesar 2,5 hingga 4,7 derajat Celcius di tahun 2100 akibat peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK).
Dalam konteks GRK inilah banyak hal bisa dilakukan dalam mengatasi perubahan iklim. Gas rumah kaca yang biasa dikenal adalah karbon dioksida, uap air, ozon, nitrogen oksida, metana dan CFC. Sumber dari GRK (Gas Rumah Kaca) ini bermacam-macam dan sebagian besar terdapat dalam keseharian kita. Misal yang kita lakukan adalah dalam kegiatan memasak, menyalakan televisi, menggunakan AC, kulkas, sofa dari busa, kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Hubungan dengan KTT G20 Bali
Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat berkepentingan dalam agenda mengantisipasi perubahan iklim dunia itu. Di satu sisi, dengan jumlah hutan yang ada, Indonesia memiliki resources untuk mengendalikan perubahan iklim (climate change). Tetapi di sisi lain, Indonesia juga menjadi negara yang menghasilkan polusi dalam jumlah besar, karena termasuk produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia.
Pemerintah juga telah menetapkan arah kebijakan melalui Pembangunan Rendah Karbon. Hal ini dilakukan melalui penurunan dan intensitas emisi pada bidang prioritas meliputi energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan. Melalui Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dari kondisi business as usual. Penurunan emisi GRK tersebut terutama akan didorong pada sektor Agriculture, Forest, and Land Use (AFOLU) serta energi.
Selain berkomitmen untuk terus melakukan Pembangunan Rendah Karbon, Indonesia juga berupaya melakukan transisi energi (energy transition), yaitu transisi dari energi yang berbasis non-renewable, ke renewable. Transisi energi saat ini bisa dikatakan sebagai suatu yang urgent dilakukan. Mengingat Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) cukup besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Yaitu mencapai 3.686 Gigawatt (GW), yang bersumber dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut.
Selain potensinya yang besar, transisi energi harus terus dilakukan percepatan, karena Indonesia sudah sangat lama bergantung pada energi berbasis fosil, yaitu sekitar 90 persen. Bahkan dengan Demand yang terus meningkat, dan cadangan yang kian menipis, membuat pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi dalam negeri.
Hambatan Transisi Energi Hijau
Meskipun perencanaan akan transisi energi (energy transition) telah dirancang sedemikian rupa, terdapat beberapa hambatan yang masih ditemui, seperti:
- Arab Saudi sebagai salah satu negara KTT G20 yang bergantung pada sektor minyak bumi.
- Keraguan terhadap komitmen pemerintah karena berbagai kebijakan di sektor pembangunan nasional masih belum memperlihatkan hasil yang maksimal.
- Pembiayaan yang masih bergantung dengan Bank dan sewaktu-waktu bisa terhenti.
Masih adanya hambatan dalam upaya melakukan transisi energi (energy transition), perlu perhatian yang serius agar ketercapaian dari pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.
Lalu, apakah upaya yang akan kamu lakukan untuk menghadapi permasalahan perubahan iklim?
Baca juga: https://myeco.id/pemanfaatan-energi-alternatif-yang-masih-minim-di-indonesia/